Pendidikan: Humanisasi atau Dehumanisasi
Suara Merdeka
Sabtu, 16 Nopember 2013
Oleh: Hendro Widodo, M. Pd
Hakikat pendidikan adalah upaya untuk membantu subjek didik agar berkembang menjadi sosok manusia yang potensial secara intelektual melalui proses transfer of knowledge dan potensial secara spiritual melalui proses transfer of values yang terkandung di dalamnya. Muatan upaya yang dibawa dalam proses pendidikan merupakan proses yang padu dan komprehensif. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya mampu memperhatikan semua aspek perkembangan subjek didik sebagai manusia seutuhnya, yakni aspek fisik-biologis dan ruhaniah-psikologis tidak direduksi menjadi pemenuhan kebutuhan praktis sesaat.
Tugas humanistik dari pendidikan seakan luntur oleh terjadinya proses dehumanisasi dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya. Humanisasi dan dehumanisasi adalah dua hal yang bersifat antagonistik. Dehumanisasi dalam pendidikan dimaksudkan sebagai proses pendidikan yang terbatas pada pemindahan ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sedangkan humanisasi merupakan proses pemberdayaan masyarakat melalui ilmu pengetahuan. Dalam prakteknya, institusi pendidikan lebih merupakan proses transfer ilmu dan keahlian daripada usaha pembentukan kesadaran dan kepribadian peserta didik sebagai pembimbing moralnya melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Padahal, kecenderungan pendidikan yang sekedar transfer ilmu dan keahlian dan mengabaikan pembangunan moralitas merupakan ciri utama dehumanisasi pendidikan.
Di sisi yang lain, contoh lunturnya tugas humanistik dari pendidikan yakni perkelahian antar siswa, baik yang terjadi di dalam satu sekolahan sendiri maupun melakukan penyerangan ke salah satu sekolahan, geng pelajar, aborsi, penyalahgunaan pornografi dan obat terlarang di kalangan siswa, dan sebagainya. Pelanggaran etika dan norma-norma sosial lainnya yang mewabah di kalangan terpelajar menunjukkan bahwa telah terjadi dehumanisasi pendidikan pada hampir setiap jenjang pendidikan.
Realitas proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah kurang memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan nalar kritisnya. Di ruang–ruang kelas, peserta didik seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi dan aspirasinya kurang didengar, kecuali menuruti kehendak pendidik yang secara sepihak menyatakan diri sebagai orang yang lebih dewasa. Pendidik menempatkan dirinya sebagai pusat segalanya, ”penguasa” dengan memerankan dirinya sebagai orang yang ”maha tahu”, mendikte, kemudian berdiri di hadapan peserta didik seraya berkhotbah tentang ”doktrin-doktrin” yang ia miliki. Sedangkan peserta didik hanya merekamnya, bersifat konsumtif atau penerima yang diharapkan, diatur dalam keadaan menakutkan, sehingga demokrasi dan nilai diabaikan dalam praktiknya. Peserta didik dianggap objek yang patuh dan mendengar, mencatat, menghafal dam terus dijejali dengan pengetahuan, tanpa terjadi proses interaksi timbal balik atau dialog kritis. Pola pendidikan tersebut membentuk budaya yang serba verbal, mekanistik dan dangkal sehingga jauh dari nilai-nilai humanistik.
Kondisi empiris lainnya menunjukkan bahwa sampai saat ini masih sering terjadi praktik pendidikan yang membelenggu kebebasan hakiki manusia. Peserta didik masih saja menjadi objek bukan subjek yang berkembang. Pendidikan sering kali dianggap sebagai pabrik intelektual yang dituntut agar mampu menghasilkan pelaku-pelaku pembangunan yang tangguh dan handal, sehingga pendekatan yang digunakan lebih menekankan pada sebagian aspek saja, misal aspek intelektual, sedangkan aspek lain belum mendapat posisi yang kuat atau intensif, terutama aspek afektif. Hal ini berakibat pendidikan kurang mengarah pada penanaman potensi kemanusiaan lainnya, terutama yang bermuara pada sisi emosional peserta didik. Padahal, inti dari sebuah pendidikan adalah agar menjadikan manusia-manusia yang cerdas, kreatif, dan humanis (Setya Raharja, 2008).
Merespon kenyataan tersebut, perlu kesadaran bersama dari semua pelaku pendidikan dalam berbagai tingkatan untuk mengembalikan pendidikan pada hakikatnya yakni sebuah proses humanisasi. Proses humanisasi tersebut tidak saja memberikan pengetahuan mengenai bahan-bahan yang diajarkan, tetapi mengajak menghayatinya, mengajak mencoba menyelami dan memahami berbagai bentuk ekspresi kemanusiaan dengan berbagai dimensinya. Tidak hanya potensi intelektual peserta didik yang tersentuh, tapi juga kemanusiaannya sendiri. Semua karakteristik manusia hendaknya dapat berkembang secara optimal lewat pendidikan. Dalam proses humanisasi dalam pendidikan seorang pendidik sangat menghindari adanya penekanan pada siswa. Seorang peserta didik diterima apa adanya, dengan kelebihan dan kekurangannya sehingga tidak ada yang merasa tertekan, baik pihak siswa maupun pendidik, psikis maupun fisiknya. Pendidikan memiliki tugas berat untuk membantu peserta didik agar dapat berkembang secara normatif menjadi lebih baik dalam segala aspeknya sehinga pengembangan potensi diri peserta didik yang mencakup intelektual dan spiritual menjadi keniscayaan dalam pendidikan.